Jumat, 11 Januari 2013

Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam


Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam
Oleh Ust. Syamsul Arifin Nababan
Pendahuluan
Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.

Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.

Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.
Konsep Toleransi Dalam Islam

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”  

Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).  Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.

Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.

Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la  dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).

Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu).  Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.

Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.

Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.

Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.

Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”

Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah).

Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.

Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
  1. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
  2. Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
  3. Kelemah lembutan karena kemudahan
  4. Muka yang ceria karena kegembiraan
  5. Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
  6. Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
  7. Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
  8. Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur."

Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).
Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam

Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik.

    Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.

    Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan.

    Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.

    Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya.

    Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.

    Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi keagungan ajaran Islam.

    Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang.
Penutup

    Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.

    Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.

    Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

TUGAS WAWANCARA RAGAM BAHASA


BAHASA INDONESIA
RAGAM BAHASA PENDIDIKAN
­­­








OLEH :
KELOMPOK 3

FAKULTAS TEKNIK
UVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK MESIN
BANJARBARU
2012
ANGGOTA KELOMPOK :


1.    Andrianoor                                                       H1F112064         
2.    Bagus Sidiq Purnomo                                      H1F112051
3.    Dias Fajar Juli Setiawan                                  H1F112067
4.    Handrico Ramelan Pratama                             H1F112210
5.      Khairullah                                                         H1F112005














KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Jika tanpa pertolongan-Nya munkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini.
            Terimakasih kepada dosen bahasa Indonesia bapak Khairil Anwar yang telah membimbing kami sehingga mengerti bagaimana cara menyusun karya ilmiah dengan baik dan benar. Kami juga berterimakasih kepada kelompok 3 dari teknik kimia, kakak tingkat dan pihak pihak lain yang telah memberi masukan dan berjasa dalam membantu penyusunan makalah ini.
            Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang ragam bahasa pendidikan yang kami sajikan berdasarkan mengutip dari berbagai sumber.
Kami hanya manusia biasa yang banyak salah khilafnya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, dengan kerendahan hati kami memohon maaf karena makalah ini masih banyak memiliki kekurangan.
            Semoga makalah ini dapat memberi wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Terimakasih.



                                                                                                           Banjarbaru, 19 September 2012


                                                                                                                            Penyusun




DAFTAR ISI

ANGGOTA KELOMPOK                                                                                                    i
KATA PENGANTAR                                                                                                           ii
DAFTAR ISI                                                                                                                          iii
BAB I
PENDAHULUAN ­­
1.1. Latar belakang 1
1.2. Masalah 2
a.       Rumusan masalah 3
b.      Batasan masalah 3
1.4. Tujuan
1.5. Manfaat
a.   Manfaat praktis 
 b.   Manfaat teoritis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian ragam bahasa berdasarkan pendidikan
2.2. Bahasa baku dan bahasa tidak baku
a.       Bahasa baku
b.      Bahasa tidak baku
2.3. Sifat sifat ragam bahasa baku
a.       Mantap
b.      Dinamis
c.       Cendikia
d.      Seragam
2.4. Ragam baku tulis dan ragam baku lisan
2.5. Bahasa Indonesia yang baik dan benar
BAB III
PENUTUP
3.1 . Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA













BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Dewasa ini betapa  dirasakan penting fungsi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Semua orang menyadari bahwa interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki bahasa resmi sendiri yakni bahasa Indonesia.
Bahasa indonesia adalah bahasa nasional yang semua orang harus mengerti dan mempelajarinya sebagai salah seorang warga negara republik indonesia.  Tidak hanya pelajar dan mahasiswa saja, tetapi semua warga Indonesia wajib mengerti dan mempelajari bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu dari bangsa Indonesia yang sudah dipakai oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, namun tidak semua orang menggunakan tata cara atau aturan-aturan yang benar, salah satunya pada penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri yang tidak sesuai dengan Ejaan maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh karena itu pengetahuan tentang ragam bahasa sangat penting untuk mempelajari bahasa Indonesia secara menyeluruh yang akhirnya bisa diterapkan dan dapat digunakan dengan baik dan benar sehingga identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidak akan hilang.

1.2. Masalah
a.       Rumusan Masalah
Dalam bahasa Indonesia itu ada yang disebut ragam bahasa. Dimana ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda. Ragam bahasa menurut penuturnya terbagi tiga yaitu; ragam bahasa berdasarkan daerah, berdasarkan pendidikan dan berdasarkan sikap penutur. Dalam makalah ini yang lebih ditekankan adalah ragam bahasa pendidikan.
b.      Batasan Masalah
Untuk lebih mudah memahami isi makalah kami merumuskan batasan masalah sebagai berikut:
1.      Pengertian ragam bahasa berdasarkan pendidikan
2.      Bahasa baku dan bahasa tidak baku
3.      Sifat sifat ragam bahasa baku
4.      Ragam baku tulis dan ragam baku lisan.
5.      Bahasa Indonesia yang baik dan benar

1.3. Tujuan
Tujuan makalah ini dibuat untuk mengetahui ragam bahasa pendidikan sebagai bahasa baku, agar semua orang dapat terampil dalam menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar.

1.4. Manfaat
     a.   Manfaat praktis
        Manfaat praktis dari makalah ini adalah diharapkan bukan hanya yang berpendidikan saja, tapi semua warga Indonesia dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar .
b.      Manfaat Teoritis
                 Manfaat teoritis dalam makalah ini adalah ditunjukan kepada instansi-instansi pendidikan yang paling utama dalam bidang bahasa indonesia, agar dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam bahasa indonesia yang baik dan cermat dalam berbahasa indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN
RAGAM BAHASA  PENDIDIKAN

2.1. Pengertian Ragam Bahasa Berdasarkan Pendidikan
Sebelum kita masuk ke dalam pengertian sebaiknya kita mengetahui pengertian ragam bahasa.  Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990).
Ragam bahasa pendidikan adalah ragam bahasa yang diperoleh dari pendidikan formal yaitu kosa kata baku. Kosa kata baku adalah kosa kata yang pengucapan dan penulisannya sesuai dengan pedoman ejaan yang disempurnakan (EYD), tata bahasa baku atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang digunakan oleh penutur yang berpendidikan dianggap sebagai ragam bahasa Indonesia yang paling baik. Ragam bahasa ini  dipakai oleh kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
2.2. Bahasa baku dan bahasa tidak baku
Dalam bahasa yang diperoleh dari pendidikan formal dikenal bahasa baku dan tidak baku. Berikut bahasa baku dan bahasa tidak baku;

a.       Bahasa baku
Bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Disebut juga bahasa yang resmi karena bahasa ini dipakai untuk keperluan  berbagai bidang  kehidupan yang resmi, seperti penyelenggaraan negara dan pemerintahan, penyusunan undang-undang, persidangan di pengadilan, persidangan di DPR dan MPR, penyiaran berita melalui media elektronik dan media cetak, pidato di depan umum, dan tentu saja penyelenggaraan pendidikan, maka ragam bahasa baku cenderung dikaitkan dengan situasi pemakaian yang resmi. Dengan kata lain, penggunaan ragam baku menuntut penggunaan gaya bahasa yang formal.
b.      Bahasa tidak baku
Ragam tidak baku adalah ragam bahasa yang tidak dilembagakan. Ragam ini ditandai oleh cirri-ciri dari norma ragam baku. Ragam bahasa tidak baku biasa dipakai saat situasi tidak resmi atau saat santai contohnya saat berbicara dengan kawan akrab.

2.3. Sifat sifat ragam bahasa baku
a.       Mantap
Mantap arinya sesuai dengan kaidah bahasa. Kalau kata rasa dibubuhi awalan pe-, akan terbentuk kata perasa. Kata raba dibubuhi pe- akan terbentuk kata peraba. Oleh karena itu, menurut kemantapan bahasa, kata rajin dibubuhi awalan pe- akan menjadi perajin, bukan pengrajin. Kalau kira berpegang pada sifat mantap, kata pengrajin tidak dapat kita terima. Bentuk-bentuk lepas tangan, lepas pantai dan lepas landas merupakan contoh kemantapan kaidah bahasa baku.
b.      Dinamis
0Dinamis artinya tidak statis, tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki adanya bentuk mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan took tempat berlangganan. Dalam hal ini, tokonya disebut langganan dan orang yang berlangganan itu disebut pelanggan.
c.       Cendikia
Ragam bahasa baku bersifat cendikia karena ragam baku dipakai pada tempat-tempat resmi. Pewujud ragam baku ini adalah orang-orang yang terpelajar. Hal ini dimungkinkan oleh pembinaan dan pengembangan bahasa yang lebih banyak melalui jalur pendidikan formal (sekolah).
Disamping itu, ragam baku dapat dengan tepat memberikan gambaran apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis. Selanjutnya ragam bahasa baku dapat memberikangambaran yan jelas dalam otak pendengar atau pembaca. Contoh kalimat yang tidak cendikia adalah sebagai berikut.
Rumah sang jutawan yang aneh akan dijual.
Frasa rumah sang jutawan yang aneh mengandung konsep ganda, yaitu rumahnya yang aneh atau sang jutawan yang aneh. Dengan demikian, kalimat itu tidak memberikan informasi yang jelas. Kalimat tersebut harus diperbaiki sebagai berikut;
1.      Rumah aneh milik sang jutawan akan dijual
2.      Rumah milik sang jutawan aneh akan dijual
d.      Seragam
Ragam baku berifat seragam. Pada hakikatnya, proses  pembakuan  bahasa ialah proses penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pencarian titik- titik keseragaman. Pelayan kapal terbang dianjurkan memakai istilah pramugara dan pramugari.

2.3. Ragam baku tulis dan ragam baku lisan.
Ragam baku tulis adalah ragam baku yang dipakai dengan resmi oleh buku-buku pelajaran atau buku-buku  ilmiah lainnya. Ukuran dan nilai ragam baku lisan bergantung pada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapan. Seseorang dapan dikatakan berbahasa lisan yang baku kalau dalam pembicaraannya tidak terlalu menonjol pengaruh logat atau dialek daerahnya.

2.4. Bahasa Indonesia yang baik dan benar
 Penentuan atau criteria bahasa yang baik dan benar tidak jauh berbeda dari apa yang kita katakan sebagai bahasa baku. Kebakuan suatu kata sudah menunjukkan masalah “benar” suatu kata itu. Walaupun demikian masalah “baik”  tentu tidak sampai pada sifat kebakuan suatu kalimat.
Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata dianggap benar apabila bentuk itu mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Di bawah ini akan dipaparkan sebuah contoh.
Kuda makan rumput
Kalimat ini benar karena memenuhi kaidah sebuah kalimat secara struktur, yaitu ada subjek (kuda), ada predikat (makan), dan ada objek (rumput). Kalimat ini juga memenuhi sebuah kalimat dari segi makna, yaitu mendukung sebuah informasi yang dapat dimengerti oleh pembaca. Lain halnya dengan kalimat dibawah ini.
Rumput makan kuda
Kalimat ini benar menurut struktur karena ada subjek (rumput), ada predikat (makan), dan ada objek (kuda). Akan tetapi, dari segi makna, kalimat ini tidak benar karena tidak mendukung makna yang baik.
Sebuah bentuk kata dikatakan benar kalau memperlihatkan proses pembentukan yang benar menurut kaidah yang berlaku. Kata aktifitas tidak benar penulisannya karena pemunculan kata itu tidak mengikuti kaidah penyerapan yang telah ditentukan. Pembentukan penyerapan yang benar ialah aktivitas karena diserap dari kata activity. Kata persuratan kabar dan pertanggung jawab tidak benar karena tidak mengikuti kaidah yang berlaku. Yang benar menurut kaidah ialah kata persurat kabaran dan pertang-gungjawaban.
Pengertian “baik” pada suatu kata (bentukan) atau kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari pilihan kata (diksi). Dalam suatu pertemuan kita dapat memakai kata yang sesuai dengan pertemuan itu sehingga kata-kata yang keluar atau dituliskan itu tidak akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Pemilihan kata yang akan dipergunakan dalam suatu untaian kalimat sangat berpengaruh terhadap makna kalimat yang dipaparkan itu. Pada suatu ketika kita menggunakan kata menugasi, tetapi pada waktu lain kita menggunakan kata memerintahkan, meminta bantuan, memercayakan, dan sebagainya.



















BAB III
                                                   PENUTUP                  
3.1. Kesimpulan
            Ragam bahasa pendidikan adalah ragam bahasa yang diperoleh dari pendidikan formal, berupa bahasa baku atau bahasa resmi yang kosa kata pengucapan dan penulisannya berpedoman pada EYD, tata bahasa baku dan KBBI.
3.2. Saran
            Diharapkan makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan bagi mahasiswa dan pihak lain dalam proses memahami lebih dalam mengenai kaidah-kaidah ragam bahasa pendidikan.
Semoga kita tidak hanya berhenti sampai disini perjuangan kita dalam membudayakan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.













DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2006. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Semarang. Balai. ­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­
Arifin, E. Zaenal, dan Tasai, S. Amran. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta. Akademika Pressindo.
Musaba, Zulkifli. 2009. Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa. Yogyakarta. Aswaja Pressindo.
Soejono, Ag. 2005. Metodik Khusus Bahasa Indonesia. Jakarta. Bina Karya.
http://mikrofrezzy.blogspot.com. Ragam Bahasa Berdasarkan Media atau Sarana. 2010.
http://www.artikelbagus.com. Artikel Pendidikan Bahasa Indonesia. 2012


Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

Banner

Cari Blog Ini

Pages

Blogger templates

Banner